Media sosial adalah sebuah media online,
dengan para penggunanya dapat dengan mudah berpartisipasi, berbagi, dan
menciptakan isi melalui jejaring sosial. Jejaring sosial merupakan bentuk media
sosial yang paling umum digunakan oleh masyarakat di seluruh dunia. Pendapat
lain mengatakan bahwa media sosial adalah media online yang mendukung interaksi
sosial dan media sosial menggunakan teknologi
yang mengubah komunikasi menjadi dialog interaktif.
Jejaring sosial merupakan situs dimana setiap
orang dapat membuat web page pribadi, kemudian terhubung dengan teman-teman
untuk berbagi informasi dan berkomunikasi. Jejaring sosial terbesar antara lain
Facebook, Twitter, Path, dan lain sebagainya. Namun, pada saat ini jejaring
sosial yang sedang marak adalah Path. Disini, saya akan membahas mengenai
dampak konflik dari jejaring sosial Path yang baru saja terjadi pada masyarakat
Indonesia.
Ya.. Pasti, sudah tidak asing lagi mendengar
kata konflik. Banyak sekali konflik yang terjadi di sekitar kita tanpa kita
sadari. Konflik ini sendiri dapat terjadi tidak hanya dari masalah yang besar
saja, melalui masalah yang kecil atau sepele pun dapat menjadi besar. Salah
satu contoh konflik yang saya ingin ambil dan bahas adalah konflik Florence
Sihombing, mahasiswa S2 Universitas Gadjah Mada Yogyakarta yang mengungkapkan
kekesalannya di jejaring sosial Path.
Tepat pada Kamis, 28 Agustus 2014 kemarin,
Florence yang menggunakan sepeda motor sedang mengantri membeli bensin di
Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) Lempuyangan, Yogyakarta. Saat itu, ia
hendak membeli Pertamax yang menyelonong memotong antrian mobil hingga sampai
akhirnya ditegur oleh salah anggota TNI yang berjaga. Ia marah namun tetap
tidak boleh memotong antrian.
Merasa tidak terima dan kecewa dengan kejadian
tersebut, sekeluar dari SPBU, Florence menumpahkan serta meluapkan kekesalannya
di jejaring sosial Path. Salah satu ungkapan kekesalannya, yaitu: "Jogja miskin, tolol, miskin, dan tak
berbudaya. Teman-teman Jakarta, Bandung, jangan mau tinggal di Jogja”,
karena dinilai menjelekkan dan menghina warga Yogyakarta, status itu kemudian
disebar di media jejaring sosial dan mendapat reaksi negatif dari masyarakat. Florence
pun di cerca.
Lalu pada Jumat, 29 Agustus 2014, Florence
meminta maaf kepada masyarakat dan Raja Keraton Sri Sultan Hamengkubuwono X. Ia
mengaku tidak memiliki maksud menghina atau mencemarkan nama baik Yogyakarta.
Tetapi, Florence tidak meminta maaf secara langsung dan terbuka pada publik,
melainkan melalui pernyataan tertulis yang dibacakan oleh pengacaranya, Wibowo
Malik.
Setelah meminta maaf yang diwakili oleh
pengacaranya itu, pada Sabtu, 30 Agustus 2014, Penyidik Reserse Kriminal Khusus
Polda D.I. Yogyakarta memeriksa Florence. Segera setelah disidik, status
Florence yang semula terlapor ditingkatkan menjadi tersangka, dan saat itu juga
ditahan.
Adanya, konflik Florence yang terjadi ini saya
pribadi ingin memberikan sedikit pesan kepada pembaca untuk berhati-hati dalam
bertutur kata. Sebab, seperti yang kalian ketahui media sosial itu bersifat
sangat luas. Kita pun harus dapat membedakan serta memilah mana pernyataan yang
bersifat positif dan mana juga pernyataan yang bersifat negatif. Maka dari itu,
mulai sekarang selektif lah dalam segala hal agar tidak terjadi lagi hal yang
tidak diinginkan.
Adinda
Intan Nurbaity
2013
– 022 – 083
Nice post!
ReplyDelete